Psikologi Wakaf: Membedah Makna Hadits Bukhari No. 2759 dari Perspektif Psikologi

Jumat, 2 Mei 2025 | Dibaca : 838 | Penulis : Andri Saputra Lubis, S.Psi., M.Psi

berita_1746147211.jpg

Dalam ajaran Islam wakaf merupakan amal jariyah, yang memiliki nilai keberlanjutan, di mana manfaatnya tetap dapat dirasakan meskipun wakif telah meninggal dunia. Salah satu hadits yang menggambarkan pentingnya wakaf berasal dari Sayyidina Umar bin Khattab r.a., yang tercatat dalam kitab Sahih al-Bukhari nomor 2759. Hadis tersebut berbunyi:

"Aku memperoleh tanah di Khaibar, dan aku belum pernah memiliki harta yang lebih berharga bagiku daripada tanah itu. Maka aku berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memperoleh tanah di Khaibar, maka apa yang engkau perintahkan kepadaku?' Rasulullah SAW menjawab: 'Jika engkau mau, engkau dapat menahan pokoknya, dan memberikan manfaatnya.'" (HR. Bukhari, No. 2759).

Dalam hadis ini, Umar bin Khattab r.a. bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai cara terbaik memanfaatkan tanah yang didapatnya di Khaibar. Rasulullah SAW memberi petunjuk agar tanah tersebut tidak dijual atau disia-siakan, melainkan diwakafkan agar manfaatnya terus mengalir bagi umat. Namun, bagaimana kaitannya antara hadis ini dengan psikologi? 

Dari perspektif psikologi konvensional, wakaf bisa dilihat sebagai bentuk dari altruism, yaitu tindakan memberikan tanpa mengharapkan imbalan pribadi. Ini merupakan contoh nyata dari altruism, di mana seseorang mengorbankan sebagian harta untuk kepentingan orang lain atau masyarakat tanpa mengharapkan keuntungan pribadi. Menurut Martin Seligman, tokoh utama dalam psikologi positif, tindakan memberi kepada orang lain dapat meningkatkan kesejahteraan mental. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa individu yang memberi secara tulus sering kali merasakan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan yang hanya mengejar pencapaian materi.

Seligman dalam bukunya Authentic Happiness menyatakan bahwa memberi bukan hanya memperbaiki hidup orang lain, tetapi juga memberi makna bagi diri sendiri. Ketika seseorang memberi tanpa pamrih, ia akan merasakan kedamaian batin dan kebahagiaan yang lebih mendalam. Dalam hal ini, Umar bin Khattab r.a. memberikan contoh bagaimana tindakan memberi tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga memberikan kebahagiaan bagi dirinya. Dengan mewakafkan tanah yang paling berharga baginya, Umar merasakan kedamaian batin, karena ia tahu hartanya digunakan untuk tujuan yang lebih besar daripada sekadar kepentingan pribadi. Ini menunjukkan bagaimana wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan memberi kebahagiaan melalui kontribusi sosial.

Dalam psikologi Islam, wakaf bukan sekadar amal sosial, melainkan juga sebuah ibadah yang memiliki dimensi spiritual yang sangat mendalam. Setiap amal yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah SWT memiliki pahala yang sangat besar, bahkan untuk amal yang terus mengalir setelah seseorang meninggal dunia. Salah satu hadis yang menggambarkan hal ini adalah:
"Apabila seorang hamba meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya."(HR. Muslim). 

Sedekah jariyah, yang meliputi wakaf, adalah amal yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang mewakafkannya telah meninggal dunia. Dalam konteks psikologi Islam, wakaf berhubungan dengan konsep tazkiyah (penyucian jiwa). Ketika seseorang mewakafkan hartanya, ia membersihkan dirinya dari kecintaan berlebihan terhadap dunia dan memperkuat ikatan dengan Allah SWT. Tindakan wakaf ini membawa kedamaian batin yang berasal dari rasa taqwa dan kepasrahan kepada takdir-Nya.

Melalui wakaf, Umar bin Khattab r.a. tidak hanya memberi manfaat kepada umat, tetapi juga memperkuat hubungan spiritualnya dengan Allah. Wakaf memperbaiki kondisi jiwa dan menjadi sarana untuk membersihkan hati. Seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya' Ulum al-Din, wakaf adalah salah satu cara untuk menghindari godaan duniawi dan meningkatkan kualitas spiritual seseorang.

Salah satu aspek yang menarik dalam wakaf adalah konsep sedekah jariyah, yaitu amal yang pahalanya tetap mengalir meskipun orang yang melakukannya telah meninggal dunia. Dalam psikologi konvensional, hal ini bisa dipahami sebagai cara untuk mengatasi kecemasan eksistensial tentang kehidupan setelah kematian. Dengan melakukan wakaf, seseorang merasa bahwa kehidupannya memiliki makna yang lebih abadi, yang tidak hanya bergantung pada pencapaian duniawi, tetapi pada dampak positif yang diberikan kepada masyarakat.

Menurut teori psikologi positif, salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan psikologis adalah dengan menemukan makna dan tujuan dalam hidup. Wakaf menjadi salah satu cara untuk mencapai hal ini, karena seseorang merasa bahwa hidupnya memberikan kontribusi yang lebih besar bagi umat dan dunia. Ketika seseorang memberi dengan tulus melalui wakaf, ia merasakan kebahagiaan yang lebih mendalam, baik di dunia maupun di akhirat.

Dr. Abdul Rahman Al-Saadi, seorang ulama besar, menjelaskan bahwa wakaf bukan hanya tentang memberi harta, tetapi juga tentang mengendalikan ego dan menyucikan niat. Wakaf merupakan jalan untuk menjaga harta agar tidak membuat seseorang terikat pada hal-hal duniawi, tetapi lebih berfokus pada amal jariyah yang memberikan dampak bagi umat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau menyatakan, Amal yang terus mengalir pahalanya setelah kita meninggal adalah harta yang paling berharga.

Selain itu, Dr. Tori DeAngelis seorang psikolog terkenal, dalam penelitiannya tentang psikologi positif juga mengungkapkan bahwa individu yang terlibat dalam kegiatan memberi, seperti wakaf, cenderung lebih bahagia dan merasa terhubung dengan tujuan hidup mereka. Wakaf memungkinkan seseorang untuk merasa berarti dalam hidupnya dan berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat.

Tindakan wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khattab r.a. mengajarkan bahwa memberi bukan hanya soal materi, tetapi juga tentang pengelolaan emosi, motivasi, dan spiritualitas dan keimanan yang mendalam. Dalam psikologi konvensional, memberi kepada orang lain dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan memberi kebahagiaan. Sementara itu, dalam psikologi Islam, wakaf adalah sebuah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membersihkan hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia.

Kedua perspektif ini saling melengkapi, menunjukkan bahwa wakaf bukan hanya amal sosial, tetapi juga jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan mewakafkan sesuatu yang bermanfaat, seseorang tidak hanya berinvestasi untuk kesejahteraan sosial, tetapi juga untuk kebahagiaan batin yang hakiki dan abadi. 


________________
Penulis merupakan Nazhir Wakaf Bersertifikasi Nasional, Ketua Baitul Waqf Al-Hadiy, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib Medan, dan Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara